Sabtu, 09 November 2013

Memahami Kewajiban Sebagai Pewaris


Memahami Kewajiban Sebagai Pewaris

OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Debu-debu materi dan debu-debu kama beterbangan di mana-mana, seperti telah menutupi cerahnya angkasa, membendung sinar matahari menembus bumi. Keadaan semakin gelap, kesalahan, dan ketersinggungan semakin bermunculan tak ubahnya seperti tumbuhnya jamur dimusim hujan. Pertengkaran, perkelahian, dan konplik semakin subur bahkan sepertinya sudah menjadi budaya hidup. Hampir semua orang merasa benar, merasa paling kuat, paling berjasa, dan paling semuanya. Perselisihan secara pelan-pelan merambat dengan mantap kian mendekati hati. Seolah-olah tidak memberi peluang kepada Dharma untuk mengembangkan sayapnya di hati manusia. Terjadinya pelecehan-pelecehan pun semakin tak terbendung. Sangat sulit untuk menentukan yang mana benar dan yang mana salah, demikian gelapnya hati manusia yang ditutupi oleh debu-debu tadi.

Sadar atau tidak sadar masih sangat sedikit yang berkeinginan untuk mengusap debu yang menutupi hati nurani, untuk dapat memberikan kesempatan Dharma bisa bernafas dan bersinar, dapat memenuhi kewajibannya memberikan penerangan. Serentetan kalimat di atas ditulis hanya sedikit usaha untuk menguwak kegelapan sehingga bisa mendapatkan bayang-bayang, guna dapat meraba melalui rasa kewajiban sebagai pewaris yang dituntut bertanggungjawab terhadap leluhur dan generasi mendatang. Bila usaha ini tidak berhasil, berarti satu poin kita sudah melanggar amanat Veda. Sebab Veda mengamanatkan kepada kita: ”Keturunan adalah pewaris leluhur...”. Dalam kalimat tersebut terkandung makna si pewaris harus bertanggung jawab penuh atas apa yang diwarisinya. Namun dalam kenyataan sekarang kata waris, diterjemahkan sangat sempit sekali. Yaitu waris diartikan hanya berupa artha benda (kekayaan material) saja.


Justru yang dapat warisan menganggap diri mereka yang paling berhak dan tidak sampai memperhitungkan masa depan dan generasi penerus. Sehubungan dengan itu banyak dari mereka yang telah manganggap dirinya berhak atas warisan arta itu, menggunakan warisan itu semaunya sendiri dan untuk kepentingan sendiri yang sifatnya sesaat. Sehingga tidak kurang dari hal seperti itu memicu munculnya masalah-masalah, dan konplik, bahkan ada yang sampai memakan korban, karena berebut warisan. Ada pula yang sampai putus hubungan keluarga karena berebut warisan.

Kenapa tidak ada satupun dari mereka yang mau menyadari menghayati bahwa arta warisan itu tidak lebih hanya bermakna hak guna pakai semasih kita hidup? Setelah kita meninggal nanti, arta itu kita akan warisakan lagi kepada generasi penerus kita, demikian seterusnya secara turun temurun. Kesadaran seperti itu semestinya ada jika kita berbicara tentang warisan berupa arta benda. Kembali kita harus menyimak makna warisan secara luas. Sebenarnya warisan itu maknanya luas sekali, yaitu mengandung tanggung jawab sekala dan niskala.

Seperti contoh; Orang Bali mewarisi Bali yang lengkap dan rapi termasuk Agama Hindu, budaya Hindu, seni Hindu, tatakrama Hindu, adat istiadat Hindu. Begitu tingginya nilai warisan yang kita dapat, janganlah warisan itu hilang hanya karena kebodohan kita, ’kemomoan’ kita demi kepentingan sesaat, sehingga generasi kita tidak akan dapat menikmati Bali yang sesungguhnya, karena telah hancur di tangan kita. Kesadaran yang dapat mengarah kesana harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Hilangnya kesadaran kita seperti itu dimulai dari hilangnya kesadaran pribadi-pribadi kita. Sekali lagi jangan sampai dilupakan bahwa kita orang Hindu dapat warisan dari leluhur kita adalah untuk diwariskan lagi kepada generasi berikutnya secara estapet.

Selain warisan artha benda (material), sebenarnya warisan tanggung jawab moral yang paling penting. Misalnya saya berani mengaku sebagai orang Hindu, karena sejak saya berada di dalam kandungan si ibu saya telah diberikan pendidikan ke Hinduan, sampai lahir dan selanjutnya dewasa dan seterusnya hingga tua, bahkan sampai pada matipun saya diperlakukan sesuai dengan tatanan Hindu. Jadi sayapun memiliki tanggung jawab untuk meneruskan kehinduan itu sampai kepada anak cucu saya nanti. Pikiran seperti ini juga termasuk warisan, yaitu warisan moral. Jika ada siapapun dia, tahunya hanya mewarisi artha benda saja dan tidak pernah mau tahu tentang tanggung jawab moral berupa warisan juga, orang seperti ini termasuk si pewaris yang sangat tersesat. Apalagi sampai terjadinya perkara tuntut menuntut, bahkan merajan dan rumah tidak dapat perhatian, bahakan rumahnya dikapling-kapling sesuai dengan yang mereka anggap hak waris mereka, peristiwa seperti ini akan tidak pernah menemui kebahagiaan, hanya kehancuran yang menunggu mereka.

Di sini akan dicoba memberikan contoh, misalnya; Leluhur kita mewariskan tempat tinggal (rumah sikut satak, cara Bali) kepada kita sebagai anakanya. Lalu kita bersaudara 3 (tiga) orang, selanjutnya rumah itu kita bagi bertiga (dikapling) masing-masing mendapat satu bagian. Nanti dari tiga bersaudara ini akan memiliki anak laki-laki masing-masing 2 (dua) orang. Jadi tanah yang sebagian dari warisan tadi, lagi di bagi dua dengan cara mengkapling. Lama-lama 2 (dua) anak ini lagi beranak laki masing-masing 2 (dua) orang, tanah itu semestinya dibagi lagi begitu seterusnya. Akhir cerita tanah akan menjadi habis terkapling dan tidak dapat difungsikan karena sempit mendapat bagian. Jika diperhatikan keadaan seperti itu akan semakin parah, karena mereka harus membuat merajan lagi, membuat ”pemesu” lagi dan lain sebagainya sesuai dengan konsep perumahan orang Hindu, dan hal seperti ini tidak dibenarkan oleh sastra (lontar Astha Kosala Kosali dan lontar Ashta Bumi), karena disebutkan mereka yang mengkapling rumah ”sikut satak”, termasuk dalam kategori nyepih karang, hukumanya tidak akan bisa menemui kebahagiaan hidup.

Sebab karang perumahan dalam konsep Hindu memanusiakan alam dan lingkungan, pekarang rumah dibuat menyerupai diri manusia, yaitu; Merajan sebagai kepala dari pekarang rumah, halaman sebagai badan, dan pintu masuk sebagai kaki. Nah jika ini dikapling, berarti kita sama dengan memotong-motong tubuh sendiri, disamping terasa sangat sakit juga menjadi cacat seumur hidup.

Lalu bagaimana caranya jika tidak boleh mengkapling tanah perumahan? Jawabanya adalah; Kesadaran tentang warisan konsep perumahan yang kita terima, kemudian boleh membagi hak, tetapi jangan sampai memberi batas (tembok baru), jadi menggunakan hak gunapakai untuk membangun bale, dan merajan kita ayomi bersama dengan menitikberatkan pada persatuan dan kesatuan sesuai dengan makna pendirian tempat suci bila dilihat dari kontek sosial kemasyarakatan. Itu berarti kita menysyukuri karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, bahwa kita dilahirkan ke dunia ini dalam satu induk, satu keluarga, jadi dari alam sana kita sudah dipasangkan oleh Beliau, karena berdasarkan kecocokan.

Mengapa kita setelah di atas alam ini muncul ketidak-cocokan? Apakah kita tidak boleh disebut melanggar perintah Beliau? Maka dari itu untuk generasi penerus harus dimotifasi agar giat menimba ilmu demi masa depannya, rajin bekerja, kurangi kegiatan yang menyuramkan masa depan, usahakan agar bisa membeli tanah seluas-luasnya untuk perkembangan keluarga kemudian. Jangan ada keinginan untuk menjual tanah, karena tanah tidak akan bisa berkembangbiak menjadi luas. Kalau kita terus tidak mau mengerti, siap-siaplah akan menjadi suku yang terpinggirkan. Kesimpulanya, hayatilah swadharma para leluhur, dan dilaksanakan serta dikembangkan sesuai dengan kepentingan bersama.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar