MAKNA PENJOR GALUNGAN
Umat Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang
bahkan sampai nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa
memakai symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu
sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol, bangsa
pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda namun mempunyai
fungsi yang sama.
Dalam upakara
terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh
memiliki makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam
(makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa.
Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita
Karana.
Masyarakat di
Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis
penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari
upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor
hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran
atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala
gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya
Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan,
lamak, jajan dll.
Definisi Penjor
menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang
dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian
kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata,
“Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk
Melaksanakan Pengastawa”.
Umat Hindu di
Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan
ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai
hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau
ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah
menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk
pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan.
Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan
janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan
penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya
kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll),
jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor
digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor
Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan
bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga
bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Tujuan
pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa
bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga
sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang
Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang
tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang,
tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh
tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.
Penjor Galungan
adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam
upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan
perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari
segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang
memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai
dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor
merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan
adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid,
pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela,
pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi
dengan jajan, tebu dan uang.
Oleh karena
itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan
persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya
penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan
hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan
symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga
mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama.
Unsur-unsur pada penjor merupakan
simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar
“Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan.
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar